Paling tidak ada
empat kata yang harus menjadi perhatian kita kalau membicarakan good and
clean governance, yaitu (1) good government, (2) clean government,
(3) good governance, dan (4) clean governance. Dari empat
pembagian tersebut dilihat bahwa yang menjadi perhatian adalah good
(baik), clean (bersih), government (pemerintahan), dan governance
(penyelenggara pemerintahan). Artinya paradigma yang hendak dikembangkan adalah
pemerintahan yang baik dan bersih yang juga didukung oleh penyelenggara
pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan demikian government lebih
memberikan perhatian terhadap sistem, sedangkan governance lebih
memberikan perhatian terhadap sumber daya manusia yang bekerja dalam sistem
tersebut. Tanpa menjaga keseimbangan terhadap dua hal ini akan muncul
ketimpangan dalam praktek peyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya akan
menimbulkan kehancuran terhadap sistem bernegara.
Tanpa membedakan secara tajam antara
empat elemen penting tersebut, Wanandi (1998) memberikan
pengertian sebagai berikut :
“kekuasaan didasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, segala kebijakan diambil secara transparan,
serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Kekuasaan juga harus
didasarkan atas aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak seseorang atau
kelompok tertentu. Kekuasaan juga harus taat kepada prinsip bahwa semua warga
negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum”.
Sementara itu, Riswanda Imawan (2000)
berpendapat bahwa clean government adalah satu bentuk atau
struktur pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang
datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya abuse of power. Untuk
itu diperlukan (1) pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak, (2)
struktur organisasi pemerintah yang tidak kompleks (lebih sederhana), (3)
mekanisme politik yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga
negara, dan (4) mekanisme saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra
maupun supra struktur politik.
Pengertian ini muncul karena dua
thesis, pertama, kurangnya perhatian terhadap pemerintahan yang baik dan
bersih telah mendorong terciptanya praktik monopoli, korupsi, kolusi dan
nepotisme. Kedua, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih
merupakan bahagian yang sangat penting dari sebuah proses demokrasi. Karena hal
ini menjadi syarat mutlak bagi pembangunan yang menyeluruh dan berimbang.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa
pembahasan mengenai good and clean governance baru dimulai pada
tahun-tahun terakhir (Sukardi: 2000). Kalau hal ini dilihat dari
kecenderungan hari ini, pendapat ini ada benarnya. Tapi kalau dilihat dari
perkembangan peraturan perundang-undangan, pembicaraan ke arah pemerintahan
yang baik dan benar sudah dimulai seiring dengan kuatnya keinginan untuk
membuat Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Artinya, pembicaraan good and
clean governance, paling tidak, sudah dimulai sejak awal tahun 1970-an yaitu
dengan penerbitan buku Kuntjoro Purbopranoto (1978) yang berjudul Beberapa
Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Kemudian
secara kelembagaan, upaya itu dapat dilihat dari “Proyek Penelitian tentang
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)” yang dilakukan oleh Badan
Pembinaan dan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1989 (Lotulung,
1994). Buku dan hasil penelitian tersebut berhasil menjadi doctrine
penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia.
Meskipun upaya menciptakan pemerintahan
yang baik dan bersih telah dimulai sejak tahun 1970-an tetapi tidak mampu
membawa perubahan dalam praktek penyelenggaran negara. Hal ini terjadi karena doctrine
AAUPB tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Oleh karena itu para
pelanggarnya tidak dapat dikenakan sanksi hukum.
Keinginan menjadi good and clean
governance ke dalam norma hukum baru dimulai setelah kita mengalami krisis
pada tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada
bulan Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No. XI/
MPR/ 1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian diikuti dengan pemberlakuan
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenngaraan Negara yang Bersih dan (KKN)
yang diikuti dengan empat Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 28
yaitu PP No. 65/ 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara
Negara, PP No. 66/ 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan
serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, PP No. 67/ 1999 tentang Tata Cara
Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa,
dan PP No. 68/ 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dalam Peyelenggaraan Negara.